Oleh : Nurhapni Sariyona Lubis
Pagi menjelang saat seorang wanita luar biasa yang dipanggil ibu mulai menyiapkan sarapan untuk anak-anak tercintanya. Dialah wanita yang menaruh sejuta harapan pada anak-anaknya.
Setelah ibu menyiapkannya sarapan, langkahnya mulai tertuju ke dalam kamarku. Perlahan-lahan suara lembut mulai membangunkanku dari mimpi yang begitu luar biasa, "Nak, bangun yuk udah pagi, entar telat loh pergi ke sekolah nya." Namun suara yang lembut tidak bisa menggapai mimpiku yang begitu tinggi. "Hmmmmmmmm," ucapku, dan pada akhirnya suara petir pun membangunkanku. Sontak rasanya seperti disambar petir yang membuat kupingku terasa sakit. Iya, siapa lagi kalau bukan kakak dan abangku, mereka adalah masalah bagiku karna mereka tidak pernah membiarkan hidupku tenang. "Kokkkkk bangun kokkkkk, jadi anak gadis itu harus cepat bangun pagi, bangun woyyyy ," teriak mereka. Dengan penuh amarah dan keterpaksaan akhirnya aku berdiri dan langsung menuju ke kamar mandi.
Dan seperti biasa tidak ngantri, soalnya semua orang sudah mandi terlebih dahulu. Oh iya namaku Nafisah, anak ke-3 dari 4 bersaudara. Aku punya kakak, abang, dan adik. Oh iya, ngomong-ngomong aku dipanggil Kok karna ada sebuah tragedi di mana setiap kali ada acara foto, gaya badanku selalu bengkok, dari sanalah panggilan itu ditujukan padaku.
Setiap pagi, seperti biasa, kami berangkat sekolah bersama-sama, karna aku, kakak dan abang satu sekolah. Hanya adik yang belum sekolah karna belum cukup umur. Ayahku seorang tukang becak, sedangkan ibuku seorang pedagang. Kami keluarga sederhana.
Meski rumah kami hanya beralas dan berdindingkan kayu, namun aku sangat bahagia memiliki keluarga. ini. Ayahku orang yang begitu perhatian dan dia adalah cinta pertamaku. Dialah yang mengajariku cara berjalan, makan, dan semuanya saat aku belum bisa melakukannya. Dia adalah sahabat serta laki-laki terhebat yang pernah kutemui, namun entah mengapa ia begitu cepat meninggalkan kami.
Hari demi hari penyakit yang berkembang di dalam tubuh ayahku semakin parah, hingga ia harus dirawat di rumah sakit selama berminggu-minggu. Namun inilah takdir, siapa yang tahu kapan kematian akan datang. Saat laki-laki terhebatku menghembuskan nafas terakhirnya, air mataku sontak jatuh dan tak mau berhenti. Harapan dan impian yang pernah kubangun serasa hancur berkeping-keping.
Kulihat wajah Ibuku yang penuh kesedihan yang mendalam. Kudekati ibu, lalu aku berkata, "Bu apakah ayah masih bisa kembali dan bagaimana kita bisa hidup tanpa ayah?" Dengan penuh cinta ibu menjawab, "Nak, ayah sudah di syurga, dan kita masih punya Allah SWT, kita pasti bisa hidup. "
Seiring berjalannya waktu, ibukupun harus berjuang sendiri demi anak-anak, tidak mengenal lelah, hujan, panas dan badaipun diterjang. Setelah kepergian ayah, ekonomi keluarga mulai memburuk dan terpaksa kami harus bisa memahami keadaan tersebut. Nasi berlaukkan garam sering kami alami karna keterbatasan yang kami miliki. Sesekali aku harus membantu ibu merawat adik, membersihkan rumah bersama kakak, dan sesekali menemani ibu berdagang.
Suatu saat ibuku sangat lama tak kunjung pulang dari berdagang. Hal ini membuat kami sangat khawatir. Hujan deras dikuti badai dan petir yang amat kuat membuat air mataku tak kunjung mau berhenti. Aku sangat takut kehilangan ibuku, aku takut ia akan meninggalkan kami seperti ayahku. Namun kakakku dengan kelembutannya berkata, "Jangan nangis dek, ibu gak papa, insyaallah kita doakan saja semoga Allah SWT melindungi dan memudahkan ibu." Saat itu hatiku mulai sedikit yakin dengan omongan kakakku. Setelah lama menunggu akhirnya terlihat sosok wanita pejuang yang sedang basah kuyup dan kedinginan menghampiri rumah kami. Spontan aku langsung memeluknya dengan sangat erat karena aku sangat takut kehilangan dirinya.
Dari sanalah aku mulai membangun mimpi dan harapan yang pernah aku bangun bersama ayahku. Apapun yang terjadi, aku harus tetap melanjutkan pendidikanku hingga sampai pada impianku. Aku harus belajar lebih giat lagi agar aku bisa memberikan rumah yang indah serta kebahagiaan yang ada di dalamnya.
Ibu, aku berjanji suatu saat nanti aku akan membawamu ke Baitullah bersama saudara-saudaraku, akan kubawa kebahagiaan dan kesuksesan yang begitu luar biasa sehingga engkau tidak pernah menyesal memiliki anak sepertiku.
Ibu, ku tahu engkau memang tidak pernah menuntutku untuk menjadi matahari yang mampu menyinari dunia, namun engkau hanya ingin aku bahagia dan berada pada jalan yang benar. Terimakasih ibu, maaf jika banyak sekali kesalahan yang aku lakukan dan maaf belum bisa membahagiakanmu sampai saat ini, namun aku akan selalu berusaha untuk membuatmu bahagia. >>
Comments