top of page
Search

Sejuta Cinta Ayah untukku

Writer's picture: Journal MoeslimJournal Moeslim

Oleh : Nurul Fadhilah


Seketika rumah menjadi sepi, sunyi, hampa seakan-akan sudah tak bernyawa. Anak gadis itu masih bertanya dimanakah sosok yang selama ini selalu mengatur hidupnya? Dimanakah dia? Pertanyaan itu selalu berputar dalam pikirannya. Kini ia sadar dari lamunannya. Nyatanya, sosok itu sudah tidak ada di dunia yang fana ini. Ayah, seorang pahlawan dan pemimpin dalam keluarganya.


Ya Allah, kasihan sekali si Azizah itu. Sepertinya tidak ada kebebasan untuk dia! Sebagian tetangganya berpendapat bahwa ayahnya sangatlah keras dan mengekang anaknya. Terkadang mereka merasa kasihan kepada Azizah. Tapi bagaimana? Sudah menjadi hak ayah untuk mendidik anak-anaknya menurut cara yang ia anggap benar.


Menginjak kelas delapan, sekolah menengah pertama (SMP), tibalah masa kebebasan bagi remaja untuk bergaul dan berkumpul bersama teman-teman. Tapi berbeda dengan Azizah. Pergaulannya sangat dibatasi, sehingga ia tidak menikmati masa-masa yang menyenangkan itu.


Suatu ketika, Azizah sedang asyik bermain bersama dengan temannya. Tiba-tiba seseorang menarik tangannya, dan itu ayahnya. Ayo Zizah pulang! Waktunya shalat! Memang sudah menjadi kewajiban orang tua untuk mendidik anaknya hal-hal yang baik, apalagi soal agama. Tapi berbeda dengan sang ayah ini, dia mendidiknya dengan sikapnya yang sangat tegas dalam hal ajaran agama. Ayahnya selalu mengajari dengan penuh penekanan.


Ketika waktu Maghrib tiba, sebagian teman-teman Azizah masih asyik bermain. Berbeda dengan Azizah, waktu Maghrib adalah waktu untuk diisi dengan kegiatan keagamaan, seperti mengaji dan setoran hafalan yang dibimbing oleh ayahnya langsung. Rasanya ia ingin berkata, Cukup yah, aku gak mau dikekang dengan ini semua! Aku ingin merasakan kebebasan layaknya anak-anak yang lain. Tapi, kata-kata itu tidak bisa ia ungkapkan karena rasa takutnya.


Terkadang Azizah merasakan kebencian dalam hatinya, karena ketegasan didikan ayahnya sendiri. Bukan karena tak sayang, tetapi ia merasa terlalu dikekang. Ia berpikir kenapa Allah tidak menakdirkannya mendapatkan seorang ayah yang lemah lembut, sehingga ia bisa merasakan keakraban dengan ayahnya seperti anak-anak pada umumnya. Terkadang, ia suka iri ketika melihat keakraban teman-teman bersama ayahnya.


Namun, kebencian itu kini menjadi kenangan dan rindu yang mendalam. Jika saja Allah memberikan kesempatan kedua, ia akan jalani hari-harinya walaupun di bawah tekanan. Hari yang dulu pernah ia harapkan kini menjadi sebuah penyesalan. Hari itu, sang ayah berpulang.


Jam 23.00 WIB Azizah masih fokus dengan bukunya, karena esok ia akan melaksanakan ujian tengah semester (UTS). Zah Zah Azizah…, sapa lirih ayahnya, di ruang tamu tempatnya berbaring. Karena ia sedang sakit dan ingin ditempatkan di sana agar terjangkau ke tempat tidur anaknya itu. Di dalam kamarnya Azizah mendengar sahutan itu, namun ia pura-pura tak mendengar dan tidak menemuinya. Zah Zah mana Zizah? ayah memanggilnya kembali. Sudah yah, mungkin Azizah sudah tidur, jawab ibunya.


“Maaf yah Zizah gak bisa nemui ayah. Besok Zizah ujian, Zizah harus fokus dulu belajar. Besok aja ya yah, ungkapnya tanpa mengatakan langsung kepada sang ayah.


Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar…,” kini dzikir yang dilantunkan ayahnya, Mana Zizah, bu? Allahu Akbar Allahu Akbar. Besok aja ya yah? Sekarang Zizah sudah tidur,” jawab ibu.


Suruh kumpul semua anak-anak di sini sekarang bu! perintah ayahnya. Kemudian ibunya menelpon kakak-kakak Azizah. Mereka semua telah berkeluarga dan hidup di tempat terpisah.


Jam menunjukkan pukul 01.00 WIB Azizah belum tidur. Ia tahu bahwa saudara-saudaranya pada datang karena permintaan ayahnya. Jaga Zizah ya..., begitu pesan ayahnya kepada kakak-kakak Azizah.“ Sudah yah, sekarang ayah fokus sama kesembuhan ayah. Insya Allah nanti ayah sembuh lagi, bisa kumpul lagi..., jawab salah satu anaknya. Maafkan ayah ya. Allahu Akbar Laailaahaillallah Suasana rumah semakin menegangkan. Di dalam kamar Azizah mendengarkan dan sedikit mengintip di celah-selah pintu karena ingin tahu apa yang sedang terjadi di sana.


Innalillaahiwainnailaihiraajiun

Kalimat tanjih itu menggema di mana-mana, ia sudah menyatu dengan ruang dan waktu. Begitu jelas terdengar oleh telinga.


Apa ini maksudnya, ya Allah? Apa yang akan terjadi untuk detik selanjutnya? Apakah ini sebuah perpisahan? ucap Azizah di sela-sela tangis sendunya itu. Aku tahu... Jika aku memang tidak begitu dekat dengannya dan aku belum bisa berbakti kepada ayah. Tapi, kenapa harus sekarang perpisahan itu, ya Allah?” lanjutnya.


Kini ia menyungkurkan tubuhnya di atas sajadah, tangisnya semakin menjadi-jadi. Air mata yang pertama kali menetes karena rasa sayang untuk ayahnya yang akan hilang itu, baru ia keluarkan. Allah beri waktu sekali ini saja untuk aku perbaiki semuanya. Aku belum sempat berbakti kepadanya. Aku janji akan memanfaatkan waktu bersamanya walau penuh dengan ketegasannya, aku terima, aku mohon Allah lanjutnya dengan tangisan yang sangat histeris.


Tok tok tok Di luar kamar sang kakak mengetuk pintu. Zizah, Azizah! panggil kakaknya. Azizah tahu bahwa kakaknya pasti akan meghampirinya. Namun, ia pura-pura sedang tidur hingga sang kakak membuka pintu dan membangunkan Azizah dengan kelemahlembutan. Lalu, ia keluar kamar dan menghampiri orang yang dari tadi memanggil namanya. Ia menyaksikan sendiri tubuh yang sudah kaku dan mulut yang terkunci itu. Ruang tamu penuh dengan suara tangisan yang hanyut dalam kesedihan.

Di ruang tamu, tangisan Azizah tidak sehisteris ketika di kamar. Ia masih menahan agar tidak dikasihani oleh saudara-saudaranya. Walau ia anak bungsu, bukan berarti ia lemah. Bu, apa boleh jika ayah dishalatkan setelah Subuh nanti? Sebelum Zizah pergi sekolah, karena hari ini ujian, begitu permintaannya di sela-sela tangis.


Di kelas, Azizah masih menyembunyikan kabar duka itu dari teman-temannya. Seperti tidak ada kejadian apa-apa, ia tampak kuat.


Dear Ayah, cinta pertamaku

Salamku untukmu dari alam yang fana ini.

Aku tahu jika kita tidak pernah sedekat mereka yang layak pada umumnya. Tapi, satu hal yang harus ayah tahu semua didikan, ajaran, ilmu dan aturan yang ayah berikan baru aku rasa sekarang, walau penuh dengan penekanan dan ketegasan. Mungkin dulu aku belum bisa memahami apa maksud ayah mendidikku seperti itu hingga aku tidak bisa menerimanya. Dan sekarang aku mulai merasakan kebaikan dalam didikan ayah itu, begitu banyak manfaat.


Seperti Sayyidah Fathimah RA kepada ayahanda Muhammad Sallalaahualaihiwasallam Ia datang menjadi tamu pertama setelah kematian Rasulullah. Jika saja Allah memberikan jalan seperti itu, aku akan sangat senang karena kau tahu kita akan kembali bertemu.Tapi, bukan berarti aku tidak bersyukur yah Dan semoga aku bisa menjadi kurrotaayun, penyejuk mata ayah, Aamiin


Azizah, yang begitu merindukanmu

44 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page