top of page
Search

Nyaris tak Berani Berangan

Writer's picture: Journal MoeslimJournal Moeslim

Oleh : Nurhapni Sariyona Lubis


Matahari perlahan merangkak naik tatkala langkah sepasang kaki tertuju ke Pondok Pesantren Al-Mukhlisin. Santriwati berumur 18 tahun itu berjalan bergegas, takut terlambat sampai di kelas. Sa’idatul Nafisah nama pemberian ayahnya, biasa dipanggil Nafisah. Santriwati kelas IPA 2 itu anak kedua dari 3 bersaudara. Saat usianya genap 11 tahun, ayahnya berpulang, disusul ibunya enam tahun kemudian.


Keadaan menempa Nafisah untuk sanggup hidup mandiri. Sepulang dari sekolah ia mengajar privat dan menyeterika baju. Nafisah berusaha keras memenuhi kebutuhan sekolahnya dari jerih payah sendiri. Lahir dalam keluarga sederhana membuat Nafisah terbiasa hidup dalam keterbatasan. Namun bukan berarti ia tidak memiliki impian dan cita-cita tinggi. “”Menjadi dokter adalah impian terbesarku,”” kata Nafisah, berbicara pada dirinya sendiri.


Teengg.. teengg... teengg... bel sekolah berdentang, menandakan apel pagi segera dimulai. Saat seperti itu, Nafisah biasa menyempatkan diri bertemu sahabatnya, Hafsah. “”Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Nafisah, gimana kabarmu ya ukhty,”” sapa Hafsah. "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Alhamdulillah baik," jawab Nafisah. Apel pagi berjalan, dan seperti biasa ustadz dan ustadzah bergantian memberi arahan serta nasihat, hingga akhirnya waktu menunjuk angka 8. Nafisah dan Hafsah bergegas menuju kelas.


“”Kamu mau ikut gak les kaligrafi? Pendaftaran baru sudah dibuka mulai hari ini,”” tanya Hafsah. “”Oh iya, alhamdulillah mau, asal kamu juga ikut,”” ujar Nafisah. “”Siappp, berarti kita daftar siang ini ya, sehabis pulang sekolah,”” kata Hafsah lagi. “”Insyaa Allah siappp.””

Siangpun tiba. Nafisah bersama Hafsah menuju ruang pendaftaran. Sampai di depan pintu, Nafisah memberanikan diri mengetuk pintu.


”“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,”” ucapnya. Sejurus kemudian terdengar jawaban dari dalam, "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.””

Begitu pintu terbuka, tampaklah sosok anak muda, tinggi, perkasa, dan berjubah putih. Wajahnya yang tenang membuat hati Nafisah berdetak kencang. Anak muda itu bernama Muhammad Hafidz al-Qorni, salah seorang guru tahfidz sekaligus pengajar kaligrafi. Berusia 24 tahun dan belum menikah, Hafidz jadi idaman santriwati dan para ustadzah. Nafisah mulai terbawa lamunan. “”Silakan mengisi formulirnya lebih dulu,”” ucap Ustadz Hafidz sembari tersenyum, ”“Sore ini kalian sudah boleh mengikuti latihan.”” Suara Ustadz Hafidz membangunkan Nafisah dari lamunannya, sementara Hafsah terpana melihat sikap Nafisah.


Menjelang sore, Hafsah dan Nafisah menuju ruang latihan. Sampai di sana, keduanya memilih tempat paling belakang. Tiba-tiba terdengar ucapan salam dari balik pintu, ”“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” ” Hati Nafisah kembali berdetak keras. "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,”” jawab peserta latihan. Ustadz Hafidz memasuki ruangan dengan wajah bercahaya, ia kemudian duduk di depan. Ustadz Hafidz menyuruh Hafsah dan Nafisah pindah ke kursi depan Ustadz yang kosong.


Waktu terus berjalan. Setiap hari Nafisah bertemu Ustadz Hafidz, belajar dan berbagi pengalaman bersama di kelas kaligrafi. Tanpa disadari oleh Nafisah, Ustadz Hafidz ternyata sudah jatuh hati padanya, bahkan sejak pertama kali mereka bertemu. Namun, Ustadz Hafidz menyembunyikan perasaan itu dari Nafisah. Begitu pula, Nafisah pun sejak awal telah mengagumi Ustadz Hafidz, namun ia memilih untuk menekan perasaannya. Ia merasa tidak pantas menyimpan perasaan khusus kepada Ustadz Hafidz. Ia nyaris tak berani berangan.


Meski begitu, Nafisah selalu meyakini perkataan Umar bin Khattab, “”Aku tidak takut kehilangan milikku, karena aku tahu yang bukan takdirku sampai kapanpun tidak akan bisa kumiliki. Dan aku tidak khawatir sesuatu yang belum jadi milikku, karena kutahu sesuatu yang sudah menjadi takdirku, maka tidak akan pernah menjadi milik orang lain.” ”


Akhirnya, tiba waktunya perlombaan kaligrafi segera diadakan. Santri dan santriwati diminta untuk belajar lebih giat. Mereka membentuk grup whatsapp untuk memudahkan komunikasi.

"Ting... Ting... Ting," bunyi handphone Nafisah terdengar cukup keras. Dengan penuh rasa penasaran, Nafisah menatap layar hp-nya. Ada nomor baru yang tidak ia kenal mengirim sebuah pesan: "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Afwan sebelumnya, ini Ustadz Hafidz, dengan segala keberanian dan keputusan yang sudah matang, saat pertama kali saya melihat antum saya sudah yakin kepada antum. Maaf sebelumnya bila saya sudah menelusuri kehidupan antum sebelumnya. Dalam kesempatan kali ini ijinkan saya menjadi imam yang akan berusaha membimbing, melindungi, dan mencintaimu sampai ke Jannahnya Allah SWT.


Sudikah antum menjadi teman sehidup dan sesurga dengan saya. Maukah antum menjadi ibu dari anak-anak saya nantinya? Saya tidak akan memaksa antum, namun saya juga membutuhkan jawaban dari antum. Silakan dipertimbangkan dulu. Saya akan menunggu keputusan dari antum. Maaf jika pesan ini mengagetkan antum, dan insyaallah saya sanggup menunggu antum tamat sekolah.””


Pesan WA itu berlanjut: Saya siap menerima jika antum masih ingin melanjutkan pendidikan. Tidak akan ada halangan dari saya, bahkan saya akan mendukung dan berusaha sekuat mungkin menjadi pendorong impian-impian antum. Mungkin hanya ini yang dapat saya sampaikan. Jika ada salah kata, mohon dimaafkan. Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.””


"Deg,deg,deg," Nafisah mendengar suara jantung yang berdetak begitu cepat. Nafisah bingung harus bahagia atau sedih. Semua rasa bercampur dalam satu momen. Saat itu juga Nafisah berwudhu dan menggelar sajadah, lalu melaksanakan shalat dua rakaat. Rasa bahagia yang diiringi oleh tangisan berbaur saat tangan ditadahkan ke atas. Perlahan-lahan bibir Nafisah mulai berkata dengan penuh harapan kepada Allah SWT, "Ya Allah yang maha mengetahui apa yang terlihat dan apa yang tersembunyi, hanya kepada Engkaulah kami melabuhkan hati dan segala harapan. Jika dia memang jawaban dari doaku selama ini, jika ia memang yang terbaik untukku, mudahkan ya Allah SWT, namun jika ia bukan jawaban dari doaku selama ini, jika ia buruk untukku dan Engkau tidak ridho padanya, maka jagalah aku darinya. Ya Allah SWT, tidak ada tempat bergantung dan berharap kecuali hanya kepadamu, maka berikanlah jawaban yang terbaik atas segala doa-doaku. Aamiin ya rabbal'alamin."


Getaran handphone membuat Ustadz Hafidz khawatir dan penasaran. Di layar terlihat sebuah pesan masuk dari Nafisah yang mengundang untuk datang ke rumahnya dan bertemu dengan keluarganya. Saat itu juga air mata jatuh tanpa berkata, rasa syukur serta bahagia.


Sebulan berlalu. Ustadz Hafidz memberanikan diri untuk mendatangi rumah Nafisah, tidak lama setelah Nafisah lulus dari sekolah. Ditemani beberapa kerabat, Ustadz Hafidz melangkahkan kaki untuk melamar Nafisah. Rupanya, lamarannya tidak bertepuk sebelah tangan.


Pagi yang cerah. Dengan dibalut rasa kebahagiaan, Nafisah dan Ustadz Hafidz saling mengikat janji. Dengan penuh keberanian, dari bibir Ustadz Hafidz perlahan-lahan keluar sebuah amanah, "Saya terima nikahnya Sa'idatul Nafisah bin Muhammad Abdullah dengan mahar tersebut dibayar tunai." Teriakan "Sahhhhhhhhh" pun terdengar dengan penuh kegembiraan. Dari sanalah Surga dan rumah kebahagiaan Nafisah dan Ustadz Hafidz dimulai, dengan iringan doa dari kerabat dan kawan-kawan mereka, “”Semoga hidup kalian sakinah mawaddah warahmah sampai Jannahnya Allah SWT dan diberi segala kemudahan dalam hidup serta dikaruniai anak yang shaleh dan shalehah.”


Dengan hati yang penuh keyakinan dan harapan, Nafisah menadahkan tangannya, lalu berkata "Ya Allah SWT, semoga langkah yang saya pilih ini tidak salah, dan Ridhohlah atas semua hal yang saya lakukan selagi itu baik untuk saya dan orang lain dan sesuai dengan syariatmu."

 
 
 

コメント


bottom of page