Oleh: Jihan Khoerunisa Marhamah

Ibadah Shaum termasuk ke dalam rukun Islam, yang artinya ketika seseorang sudah mengikrarkan diri sebagai seorang muslim, maka ada perintah shaum di dalamnya yang harus dilaksanakan sebagaimana rukun yang lain. Shaum sendiri merupakan rukun ketiga di antara rukun iman yang ada.
Mengenai shaum sendiri, di Indonesia selalu diidentikkan dengan kata puasa, yang sebenarnya di dalam agama Islam sendiri, Allah tidak pernah menyebutkan kata puasa. Dikutip dari NU Online, Pengasuh Pondok Pesantren Kaliopak Yogyakarta, M. Jadul Maula. Beliau mengatakan bahwa istilah puasa berasal dari bahasa Sanskerta, yakni upawasa yang bermakna “ritual untuk masuk ke Yang Ilahi”.
Istilah upawasa dalam bahasa Sanskerta pada akhirnya diadaptasi oleh istilah lokas (Jawa) yakni pasa yang kemudian berkembang menjadi puasa. Pasa memiliki makna “kekangan”, “mengekang”, atau “menahan sesuatu dari”. Dikatakan pula tradisi berpuasa sudah dilakukan oleh leluhur bangsa Indonesia dalam konsep ajaran-ajaran terdahulu, bahkan sebelum era Hindu-Buddha di Nusantara.
Abu Maryam Kautsar Amru mengemukakan hal senada dalam buku Memantaskan Diri Menyambut Bulan Ramadhan (2018), ia menyebutkan bahwa puasa sebenarnya terdiri dari kata upa yang berarti dekat atau mendekatkan diri, dan vasa atau wasa yang berarti Yang Maha Kuasa atau Yang Maha Agung, dengan demikian, maka kata upavasa atau upawasa bermakna “suatu upaya yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung (Tuhan)”.
Menurut Budi Handrianto, puasa dalam bahasa Sanskerta dengan yang dilakukan leh kaum Muslimin itu berbeda, hanya saja karena sudah membudaya selama beratur-ratus tahun, kata puasa seolah-olah menjadi milik agama Islam. Padahal, puasa yang dilakukan umat Islam itu unik.
Istilah puasa pun juga dikenal di berbagai agama, seperti Yahudi, Nasranai, Hindu dan lainnya, yang dalam praktiknya berbeda-beda. Jika begitu, secara sekilas puasa yang dilakukan oleh tiap-tiap agama itu seolah sama karena dilabeli dengan kata yang sama.
Allah menyebutkan dalam Qs. al-Baqarah [2]: 183, bahwa ”Telah diwajibkan atas kamu shaum, sebagaimana diwajibkannya kepada kaum sebelum kalian, supaya kalian bertaqwa”. Dalam ayat di atas, terdapat kata kepada kaum sebelum kalian, yang berarti sebelum Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketentuan shaum itu sudah ada. Sebagaimana hadis yang menyebutkan bahwa orang Yahudi melaksanakan shaum pada tanggal 10 Muharram, lalu kemudian para sahabat mengehluhkan kepada Rasulullah karena tidak ingin ibadah umat Islam sama dengan orang Yahudi, maka Rasul bersabda “Insyaallah, kita akan melaksanakan shaum pada tanggal 9 Muharram” hanya saja, Nabi wafat sebelum dapat melaksanakannya.
Kata shaum, merupakan bahsa Arab yang dirujuk dari Alquran, syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi di dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li alfaz al-Quran al-Karim, menyebutkan bahwa di dalam Alquran kata Shaum disebutkan satu kali, yakni di surat Maryam [19]: 26. Sementara kata Shiyam disebutkan sebanyak delapan kali dalam Alquran.
Kata Shaum mengandung makna lebih daripada kata Shiam. Shiam hanya berarti menahan diri untuk tidak makan, minum, dan bergaul dengan istri/suami sejak fajar sampai maghrib.
Sementara kata shaum tidak hanya mencegah hal diatas saja, melainkan juga berbicara, mendengar, melihat dan bahkan pikiran dari hal-hal yang merusak ibadah shaum itu sendiri. Bahkan, imam al-Gazali berkata bahwa shaum merupakan hal yang akan mengantarkan manusia kepada derajat takwa.
Allah Berfirman kepada Nabi dan kemudian diriwayatkan menjadi hadis Qudsi, Nabi Bersabda: “Sesungguhnya Shaum itu untukku, maka Akulah yang akan membalasnya”. Maksudnya adalah bahwa ibadah shaum itu berhubungan langsung dengan Allah, dan Allah yang akan memberi ganjarannya secara langsung.
Comments